Image of Fikih alternatif

Text

Fikih alternatif



Agama Islam merupakan agama yang memiliki pengaruh kuat di Indonesia. Bahkan, kekuatan Islam di Indonesia bisa dikata mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Hal yang sangat perlu dibanggakan dan perlu dipertahankan. Kesadaran memeluk agama Islam bukan persoalan yang mudah dan gampang. Para penyebar syari’at Islam di Indonesia (Wali Songo) bisa diacungi jempol. Dengan metodenya yang tepat, sehingga syari’at Islam dengan mudah diterima oleh penduduk pribumi.
Meskipun penyeberan syari’at Islam di Indonesia berjalan begitu lancar dan baik, namun di sisi lain masih terjadi berbagai pergolakan hingga melahirkan aliran-aliran Islam baru. Hal ini yang merancukan para penganut agama Islam. Suatu hal yang kadang menjadikan umat Islam rancu yaitu mengenai pengertian syari’at dan fikih. Secara dangkal fikih menurut sebagian umat Islam sama, namun sejatinya berbeda. Bukan hanya persoalan syari’at dan fikih saja yang bersengketa. Namun pemahaman suatu hukum pun juga menjadi polemik keagamaan yang akut.
Buku ini akan mencoba untuk menyajikan suguhan pemikiran dan pandangan mengenai beberapa perbedaan yang terjadi dalam tubuh agama Islam. Utamanya mengenai syari’at dan fikih, serta beberapa persoalan pemahaman tentang keagamaan. Secara sederhana syari’at dan fikih itu memang berbeda. Syariat adalah ketentuan Allah yang disyari’atkan (diperintahkan) kepada hamba-hambanya-Nya. Ketentuan itu meliputi akidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah. Sedangkan fikih adalah pemahaman yang mendalam tentang agama yang sumbernya dari syari’at itu sendiri (Hal. 3).
Syari’at dan fikih adalah dua ranah keagamaan yang berbeda. Syari’at dengan sifat-sifatnya tak lain merupakan patokan hukum dalam agama Islam yang bersifat umum. Dalam hal ini bisa disebut sebagai hukum universal. Yaitu hukum yang diberlakukan bagi seluruh umat manusia. Namun karena keterbatasan aplikasi, syari’at hanya dipandang sebagai patokan hukum yang diberlakukan bagi umat Islam secara umum. Sedangkan fikih merupakan bentuk keilmuan yang diolah dari syari’at yang sifat-sifatnya lebih khusus: berkenaan dengan aspek hukum.
Perlu juga dipahami bahwa materi yang tercantum dalam fikih disusun dan diangkat atas usaha manusia. Dalam fikih, suatu pekerjaan bisa sah atau batal, boleh atau tidak. Sementara dalam syari’at terdapat tingkatan yang diperbolehkan atau tidak. Dengan demikian, fikih merupakan terminologi tentang hukum sebagai salah satu ilmu, sementara syari’at lebih merupakan perintah atau larangan Ilahi yang perlu dipatuhi.
Salah satu contoh syari’at dalam Islam yaitu perintah tentang berpoligami dalam surah al-Nisa’ ayat tiga menyatakan dengan jelas tentang batasan berpoligami, yaitu maksimal empat istri. Itu pun dengan syarat harus mampu berbuat adil di antara mereka. Tunisia berpendapat bahwa menurut al-Quran poligami itu harus didasari perlakuan adil dan al-Quran pula yang menyatakan bahwa kamu tidak akan mampu berbuat adil meskipun telah berusaha. Apalagi adil dalam soal cinta dan kasihsayang. Itu berarti, bahwa poligami sebenarnya tidak dikehendaki oleh al-Quran (Hal. 10).
Ini merupakan salah satu contoh bentuk fikih yang lahir dari syari’at tentang berpoligami dalam kehidupan berumahtangga. Fikih dalam tataran ini lahir dari pemahaman seseorang yang diikuti dengan dalil-dalil yang bisa dijadikan rujukan terhadap argumen yang dibiat olehnya. Sehingga lahirla ilmu baru yang disebut dengan fikih atau pemahaman manusia mengenai suatu hukum (syari’at).
Akibat perbedaan paham mengenai suatu hukum, maka bermunculan lah berbagai macam aliran dan madzhab dalam agama Islam. Aliran-aliran atau madzhab itu bisa kita lihat seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Bukan hanya berhenti pada madzhab-madzhab tersebut. Namun lahirla kemudian aliran-aliran baru seperti Wahhabi, Syi’ah, Mu’tazillah, Sunni, dan Muhammadiyah serta aliran-aliran baru dalam agama Islam.
Di antara hikmah yang diperoleh dari perbedaan pendapat dalam ulama fikih yaitu adanya pilihan alternatif jawaban dan solusi hukum. Dalam konteks ini, penulis ambilkan salah satu contoh problema hukum kontemporer, yaitu adanya bank air susu ibi. Dan amat menarik jawaban hukum atas masalah ini bukan hanya diperoleh dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, melainkan dari madzhab Zhahiri, yang mana dinilai keluar dari mainstream pendapat fikih karena sifatnya yang sanagt literalistik (Hal. 72).
Bentuk kajian dan ulasan dalam buku ini secara rinci mengupas hal-hal yang berkaitan dengan syari’at dan fikih. Lebih lanjut lagi, buku ini menyodorkan fikih Sunni. Pada saat yang sama buku ini membukakan khazanah fikih Syi’ah. Bahkan sembari menampilkan jawaban fikih atas persoalan-persoalan kontemporer yang diantarkan secara metodologis. Buku ini pada saat yang sama menampilkan fikih literalis (madzhab Zhahiri). Tegasnya, buku ini memaparkan pelangi fikih yang sarat dengan berbagai alternatif. Di sini hendak ditunjukkan bahwa fikih memiliki watak dasar yang mudah dan fleksibel sehingga tidak menyulitkan umat Islam.


Ketersediaan

14000618297.14 Kau fTersedia
14000619297.14 Kau fTersedia
14000620297.14 Kau fTersedia
14000621297.14 Kau fTersedia
14000622297.14 Kau fTersedia

Informasi Detil

Judul Seri
-
No. Panggil
297.14 Kau f
Penerbit Mitra Pustaka : Yogyakarta.,
Deskripsi Fisik
xiii, 217p.; 23cm
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
978-602-8480-61-1
Klasifikasi
NONE
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this