Peresensi : Iksan Basoeky*)

Sampai detik ini, birokrasi Indonesia dipandang memiliki kinerja yang buruk, berbelit-belit, pegawai yang tidak melayani atau pelayanan yang buruk, serta maraknya praktik korupsi yang bertubi-tubi dan birokrasi yang tidak sensitif.

Penyebab dari semua itu adalah karena ada pengaruh kuat intervensi dari pejabat politik terhadap pejabat birokrasi dalam pengambilan kebijakan atau dalam hal menjalani tugas kenegaraan. Sehingga, kinerja mereka cenderung berbau politis dan diskriminatif. Bahkan, terkadang kebijakan yang disepakati pun keluar dari rel ketentuan hukum.

Ironisnya lagi, pejabat politik tidak memberi kebebasan kepada pejabat birokrasi untuk melaksanan tugas. Mereka membatasasi pejabat birokrasi untuk melaksanakan tanggung jawab, dan naifnya mereka (birokrasi) tidak boleh menolak atau membantah sebab apabila mereka berani konsekuensi yang akan diterima adalah hilangnya jabatan. Lahirlah kemudian pejabat birokrasi yang tidak mampu keluar dari bayang-bayang praktik diskriminatif yang penuh dengan kepentingan politis an sich.

Reformasi birokrokrasi yang selama ini terus didengung-dengunkan ternyata belum mampu membawa perubahan bagi terbentuknya kinerja birokrasi yang lebih baik dan kondusif. Alih-alih perbaikan, yang nampak justru kinerja birokrasi yang semakin memburuk.

Oleh sebab itu, sudah saatnya Indonesia mengadakan reformasi birokrasi yang total yang bersih dari aroma politis dan jauh dari intervensi pejabat politik. Buku bertajuk “Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia; Studi Perbandingan Birokrasi Publik di Indonesia dan Malaysia”, ini memberi jalan bagi terbentunya reformasi birokrasi yang bersih tersebut.

Dr.Azhari, S.STP, M.Si. mengajak kita khunsnya pemimpin bangsa Indonesia untuk berkaca pada reformasi birokrasi yang berjalan di negara tetangga kita, Malaysia. Meskipun demokrasi di Negeri Jiran itu tidak sebaik Indonesia tetapi pola birokrasi mereka tampilkan lebih baik ketimbang birokrasi kita.

Hal itu terjadi karena reformasi birokrasi di Malaysia bersih dari intervensi pejabat politik. Di samping itu, Malaysia juga meletakkan orang-orang yang duduk dijajaran birokrasi diukur dari kompetensinya, bukan diukur dari sejauh mana kepatuhan mereka terhadap penguasa (hal 90).

Berbeda dengan Indonesia. Indonesia malah memposisikan mereka yang duduk di kursi birokrasi adalah manusia-manusia yang patuh terhadap penguasa dan kelompok politiknya. Semua ini terjadi karena sistem birokrasi yang diterapkan di negeri ini masih mewarisi peninggalan pemerintah Belanda yang berdasarkan hukum dan kepentingan kolonial.

Mereka menjadikan struktur birokrasi, norma, dan peraturan masih berorientasi kepada kepentingan penguasa dan antek-anteknya ketimbang kepentingan publik. Ini tidak terjadi di Malaysia. Malaysia justru menjadikan struktur birokrasi untuk mengatur pemerintah sedangkan pejabat birokrasi dalam tugasnya adalah melayani masyarakat.

Inilah fenomena nyata yang terjadi dalam birokrasi di Malaysia yang setidaknya dapat dijadikan tolok ukur dalam mereformasi birokrasi di negara kita yang masih semeraut dan penuh dengan kepentingan kelompok.

Kehadiran buku ini setidaknya dapat membuka hati para pemimpin bangsa ini dalam upaya mewujudkan reformasi birokrasi yang lebih baik dan mapan. Semoga !