Detail Cantuman
Advanced SearchText
Etika dan moralitas pendidikan; peluang dan tantangan
Apa akibatnya jika anak-anak kita diajar oleh orang-orang yang tidak beretika? Apa jadinya jika guru-guru yang mengajar anak-anak kita disupervisi dan dikoordinir oleh para atasan yang juga tunaetika? Pastilah anak-anak kita akan tumbuh sebagai manusia tunaetika. Akibatnya negara akan rubuh. Kekhawatiran semacam ini sah adanya. Contoh-contoh tindakan yang mengingkari etika dalam pendidikan sudah sering kita baca di media masa. Contoh paling nyata adalah kecurangan masal yang dilakukan oleh Dinas/sekolah/guru supaya anak didiknya lulus dengan baik di Ujian Nasional. Contoh lainnya adalah pemilihan dan pemindahan kepala sekolah dan pengawas sekolah oleh bupati/walikota tanpa mempertimbangkan kompetensi mereka. Pemilihan dan pemindahankepala sekolah dan pengawas sekolah lebih didasari pada sentimen – like and dislike; yang lebih sering akibat dari politik lokal.
Masalah tunaetika dalam dunia pendidikan bukan saja menjadi masalah Indonesia. Masalah ini dialami di berbagai belahan dunia. Itulah sebabnya institusi sosial tertua kedua setelah perkawinan yang masih eksis ini pernah digugat oleh Eric Form, Paulo Freire dan Ivan Illich.
Saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan pendidikan karakter sebagai salah satu komponen penting yang menjadi penekanan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Apakah mungkin pendidikan karakter dilakukan oleh pihak-pihak yang hanya beretiket tetapi tidak beretika? Beretiket berarti bersopan-santun, sedangkan beretika berarti bertindak benar sesuai dengan tata nilai. Seseroang bisa beretiket (berperilaku santun) namun belum tentu dia beretika.
Syaiful Sagala membongkar masalah tunaetika dalam buku berjudul “Etika & Moralitas PENDIDIKAN: Peluang dan Tantangan.” Dalam buku yang berisi 10 bab ini, Sagala menunjukkan bahaya dunia pendidikan Indonesia yang mulai cenderung beretiket daripada beretika. Penulis memberi contoh ketiadaan etika dalam segala lini pendidikan, mulai dari ruang kelas sampai ke kantor Pemerintah Daerah. Sagala juga menunjukkan dengan jelas bahaya-bahaya yang dihadapi sektor pendidikan akibat dari praktik tunaetika.
Pengalaman Syaiful Sagala sebagai pengajar, sebagai aktifis lapangan dan sebagai konsultan membuat kajian dalam buku ini bukan hanya teoritikal. Pengalaman-pengalaman praktis di lapangan, baik dari tingkat kelas, sekolah, dinas dan pemda sangat memperkaya isi buku ini. Kalau ada kekurangan dari buku ini adalah kurangnya ide supaya etika di dunia pendidikan bisa ditegakkan. Himbauan dan harapan supaya semua pihak yang berkecimpung di dunia pendidikan untuk serta-merta menjunjung etika adalah bagai codot merindukan bulan. Sagala bertamsil: “Keteladanan, komitmen, dan integritas pribadi yang tinggi dalam diri penentu kebijakan menjadi tolok ukur terpenuhinya etika dan moralitas pendidikan.” Tidak akan berhasil. Sebab keteladanan, komitmen dan integritas pribadi telah surut dari bangsa ini. Ataukah memang gagasan menegakkan etika di dunia pendidikan akan dijadikan seri kedua dari buku ini? Semoga.
Ketersediaan
14001772 | 370.1 Sag e | Tersedia | |
14001773 | 370.1 Sag e | Tersedia | |
14001774 | 370.1 Sag e | Tersedia | |
14001775 | 370.1 Sag e | Tersedia | |
14001776 | 370.1 Sag e | Tersedia | |
22001903 | 370.1 Sag e | Perpustakaan Induk | Tersedia |
23000071 | 370.1 Sag e | Perpustakaan Induk | Tersedia - Warehouse |
Informasi Detil
Judul Seri |
-
|
---|---|
No. Panggil |
370.1 Sag e
|
Penerbit | Kencana : Jakarta., 2013 |
Deskripsi Fisik |
xlviii, 348p.; 23cm
|
Bahasa |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
978-602-7985-46-9
|
Klasifikasi |
NONE
|
Tipe Isi |
-
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
-
|
Subyek | |
Info Detil Spesifik |
-
|
Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain