Detail Cantuman
Advanced SearchText
Bersama empat tokoh muhammadiyah
Dialektika kultural sejak didirikannya Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan pada 1912, antara Tradisionalisme Islam, Jawanisme dan Modernisme Kolonial. Telah menempatkan organisasi Islam Modern berbasis sosial keagamaan itu, mencipta kader-kader intelektual yang mumpuni, baik dalam bidang keagamaan, sosial, maupun politik.
Hal ini lah yang menggerakkan Soeparno S. Adhy wartawan senior Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta menuangkan pengalamannya setelah sekian lama berkenalan dengan para intelektual sekaligus tokoh-tokoh puncak Muhammadiyah. Dari KH AR Fachruddin, KH Ahmad Azhar Basyir, Prof Dr Amien Rais, Prof Dr Syafi’i Ma’arif dan juga Prof Dr M Din Syamsudin.
Dalam catatan kita, mereka adalah para intelektual yang saat ini mendominasi kepemimpinan Muhammadiyah ditingkat pusat. Meski sudah tidak diragukan lagi ilmu agama dan komitmennya, juga menunjukkan bahwa Muhammadiyah menuju kepemimpinan legal formal kolektif-kolegial.
Dalam tradisi cultural Muhammadiyah dapat dibedakan pola dan model kepemimpinan yakni sisitem kolektif-kolegia. Dalam system ini terjadi perpaduan antara kekuatan figur dan organisasi. Di satu pihak seorang pemimpin memberikan warna pada setiap priode gerakan Muhammadiyah, dipihak lain organisasi memberikan koridor sekaligus ruang untuk optimalisasi fungsi kepemimpinan. Perpaduan keduanya inilah yang kemudian membentuk kepemimpinan transformatif.
Kepemimpinan transformatif sebagaimana yang dikatakan oleh Dr Haedar Nashir, dalam pengantar buku ini ditandai dengan tiga fungsi aktual dalam kepemimpinan. Yaitu kemampuan memobilisasi potensi, mengagendakan perubahan, dan memproyeksikan masa depan. (hal, xvi-xvii).
Ketiga pertanda itu nampaknya telah dilakukan secara massif oleh empat tokoh sentar Muhammadiyah selama ini. Dalam kurun sejarah kepemimpinan mereka hal itu bisa dilihat adanya Mobolisasi social yang pintunya telah dibuka pada Muktamar ke-42 (1990), diketuai KH. Azhar Basyir. Wal hasil, pada Muktamar ke-43 (1995), menunjukkan rekrutmen golongan intelektual yang menonjol. Pada saat itu tidak seorang pun pengurus PP Muhammadiyah tidak mengenyam pendidikan tinggi. Ketuanya M. Amien Rais, adalah Doktor Ilmu Politik lulusan The University of Chicago Amerika Serikat.
Ulama dan Cendikiawan
Pandangan umum corak kepemimpinan dalam lingkungan umat Islam, dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni kepemimpinan ulama dan cendikiawan. Kepemimpinan ulama biasanya dikontruksikan sebagai corak kepemimpinan yang berlatar belakang pondok pesantren dan berbasis ilmu dan agama (santri atau kiai). Sedangkan kepemipinan cendikiawan berlatar belakang pendidikan umum dan tidak identik dengan kiai.
Dua corak ini dalam tradisi kepemimpinan Muhammadiyah nampaknya sangat sulit dibedakan secara diametral, terlebih dalam dua kurun terakhir. Seperti halnya kesulitan menyebut figure M Amien Rais, A Syafii Ma’arif dan M Din Syamsudin sebagai bukan ulama atau santri, karena ketiganya selain berlatar belakang pendidikan umum tetapi juga berpendidikan agama secara mendalam.
Demikian pula dengan sosok Ahmad Azhar Basyir, kendati sering dikategorikan sebagai pemimpin bercorak ulama atau santri, yang bersangkutan dikenal sebagai ahli Filsafat Islam dan kuat kecendikiawanannya. Karena itu tipologi kepemimpinan ulama versus cendikiawan dilingkungan Muhammdiyah, lebih-lebih pada kurun waktu mutakhir ini, menjadi tidak begitu relevan.
Kepemimpinan mereka justru menampilkan corak transformatif yang melekat dalam system. Mereka sosok-sosok pemimpin yang memberi warna pelangi, tetapi semuanya bekerja dan berada dalam system. Sosok pemimpin yang memadukan kearifan, kecerdasan dan tindakan yang penuh pertimbangan. Sebagai pembawa gerbong besar gerakan Islam yang dikenal modernis dan membawa Islam yang berkemajuan.
Dalam tradisi kemipinan Muhammadiyah, suatu yang sangat menarik adalah masing-masing pemimpinya memiliki kekhasan tersendiri, baik dalam model maupun pola. Tidak memiliki format tunggal sebagaiman dalam ruang lingkup organisasi lain.
Selebihnya menjelang Muktamar ke-46 dan sekaligus memperingati satu abad Muhammadiyah, buku ini merupakan hasil wawancara Soeparno S. Adhy kepada para tokoh-tokoh berpengaruh Muhammadiyah yang saat ini mendominasi kepemimpinan PP Muhammadiyah. Hasil wawancara yang kemudian disajikan dalam bentuk buku berjudul “Bersama Empat Tokoh Penggerak Muhammadiyah.”
Ketersediaan
14000478 | 297.65 Adh b | Perpustakaan Pascasarjana (Muhammadiyah Corner) | Tersedia |
14000479 | 297.65 Adh b | Tersedia | |
14000480 | 297.65 Adh b | Tersedia | |
14000481 | 297.65 Adh b | Tersedia | |
14000482 | 297.65 Adh b | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri |
-
|
---|---|
No. Panggil |
297.65 Adh b
|
Penerbit | pustaka pelajar : Yogyakarta., 2010 |
Deskripsi Fisik |
xxi, 174p.; ilus.; 21cm
|
Bahasa |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
978-602-8764-45-2
|
Klasifikasi |
NONE
|
Tipe Isi |
-
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
-
|
Subyek | |
Info Detil Spesifik |
-
|
Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain